Minggu, 23 Januari 2011



Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Sepuluh Keutamaan orang-orang yang berpuasa

Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki atau yang akrab dipanggil Abuya ini adalah salah seorang ulama kenamaan dari Timur-Tengah, khususnya di Arab Saudi. Karisma besarnya tidak hanya berhenti di sana tapi sudah masuk ke Asia lebih-lebih di tanah air. Murid-muridnya bertebaran di perbagai penjuru nusantra meramaikan lalu-lintas dakwah dengan ilmu-ilmu yang berkualitas. Di Malang sendiri sederet ulama terkemuka lahir dari tangan dinginnya, di antaranya, Habib Shaleh Al Aydarus, Habib Muhammad bin Idrus Al Haddad, Ustadz Husain Abdullah Abdun, dan masih banyak lagi.

Di musim haji kediaman Abuya ramai dikunjungi oleh para jamaah haji guna bertamu dan mengalap barakah dari beliau. Tak jarang beliau memberi uang dan kitab-kitab sebagai oleh-oleh untuk mereka. Kedekatannya dengan ulama tanah air sendiri merupakan warisan ayahnya Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki yang pada masa hidupnya aktif mengajar para santri dari Indonesia. KH. Hasyim Asyari salah satunya. Kecerdasan Abuya yang luar biasa menempatkan beliau sebagai ulama top yang banyak dirujuk oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dari seluruh dunia. Tidak berlebihan kiranya bila beliau dinobatkan sebagai ulama sekaligus Imam Ahlus Sunnah wal Jama`ah abad 21 meski beliau menetap di negara berhaluan konservatif (Wahabi) .

Kedalaman ilmunya memang sudah tidak terbantahkan. Ilmu Hadits dan Sirah (sejarah) adalah dua ilmu yang sangat dikuasai olehnya. Dari tangannya lahir sejumlah karya brilian yang banyak diajarkan, dikutip oleh para dai, khatib dan diteliti oleh para ahli, mulai santri hingga mahasiswa. Karya-karya Abuya yng ditinggalkan sebagai warisan intelektual untuk umat sangat banyak, antara lain Mafâhîm Yajibu an Tushahhah, Abwâbul Faraj, Al Manhalul Latîf, Khasâisul Ummatil Muhammadiyah, Al Qawâid Al Asasiyyah fi Ulûmil Qur`ân, Wahuwa fil Ufuqil A`lâ, Târîkhul Hawâdits an Nabawiyyah, Syarhu Mandzûmatil Waraqât, Qul Hâdzihi Sabilî.

Abuya mendapat perhatian yang besar dari umat Islam karena kejeliannya menangkap beberapa keutamaan-keutamaan umat Nabi Muhamad dibanding umat-umat terdahulu. Usahanya menguak kemuliaan orang-orang yang berpuasa dari umat Muhammad terlihat nyata dalam pembahasan pada salah satu kitabnya yang terkenal, Khasâisul Ummatil Muhammadiyah. Beliau mencoba membuat ringkasan rapi tentang puasa bertitik tolak dari Al Quran dan As Sunnah.

Abuya menorehkan sepuluh keutamaan orang-orang yang berpuasa yang ada pada umat ini.

Pertama, Allah memberikan keistimewaan kepada umat yang berpuasa dengan menyediakan satu pintu khusus di surga yang dinamai Al Rayyan. Pintu surga Al Rayyan ini hanya disediakan bagi umat yang berpuasa. Kata Nabi dalam satu haditsnya, pintu Rayyan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpuasa, bukan untuk lainnya. Bila pintu tersebut sudah dimasuki oleh seluruh rombongan ahli puasa Ramadhan, maka tak ada lagi yang boleh masuk ke dalamnya. (HR. Ahmad dan Bukhari-Muslim)

Kedua, Allah telah mengfungsikan puasa umat Nabi Muhammad saw sebagai benteng yang kokoh dari siksa api neraka sekaligus tirai penghalang dari godaan hawa nafsu. Dalam hal ini Rasul bersabda, “Puasa (Ramadhan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi). Rasul menambahkan pula bahwa puasa yang berfungsi sebagai perisai itu layaknya perisai dalam kancah peperangan selama tidak dinodai oleh kedustaan dan pergunjingan. (HR. Ahmad, An Nasa`i, dan Ibnu Majah).

Ketiga, Allah memberikan keistimewaan kepada ahli puasa dengan menjadikan bau mulutnya itu lebih harum dari minyak misik. Sehingga Rasul bertutur demikian, “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih semerbak di sisi Allah dari bau minyak misik.”

Keempat, Allah memberikan dua kebahagiaan bagi ahli puasa yaitu bahagia saat berbuka dan pada saat bertemu dengan Allah kelak. Orang yang berpuasa dalam santapan bukanya meluapkan rasa syukurnya dimana bersyukur termasuk salah satu ibadah dan dzikir. Syukur yang terungkap dalam kebahagiaan karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk menyempurnakan puasa di hari tersebut sekaligus berbahagia atas janji pahala yang besar dari-Nya. “Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan. Yaitu berbahagia kala berbuka dan kala bertemu Allah,” kata Rasul dalam hadits riwayat imam Muslim.
Kelima, puasa telah dijadikan oleh Allah sebagai medan untuk menempa kesehatan dan kesembuhan dari beragam penyakit. “Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (HR. Ibnu Sunni dan Abu Nu`aim).

Abuya menegaskan bahwa rahasia kesehatan di balik ibadah puasa adalah bahwa puasa menempah tubuh kita untuk melumatkan racun-racun yang mengendap dalam tubuh dan mengosongkan materi-materi kotor lainnya dari dalam tubuh.

Menurut kerangka berpikir Abuya, puasa ialah fasilitas kesehatan bagi seorang hamba guna meningkatkan kadar ketaqwaan yang merupakan tujuan utama puasa itu sendiri. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. Al Baqarah: 183).

Keenam, keutamaan berikutnya yang Allah berikan kepada ahli puasa adalah dengan menjauhkan wajahnya dari siksa api neraka. Matanya tak akan sampai melihat pawai arak-arakan neraka dalam bentuk apapun juga. Rasul yang mulia berkata demikian, “Barangsiapa berpuasa satu hari demi di jalan Allah, dijauhkan wajahnya dari api neraka sebanyak (jarak) tujuh puluh musim.” (HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, dan Nasa`i).

Ketujuh, dalam Al Quran Allah berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (Qs. At Taubah: 112).

Sebagian ulama ahli tafsir menerangkan bahwa orang –orang yang melawat (As Saihuun) pada ayat tersebut adalah orang yang berpuasa sebab mereka melakukan lawatan (kunjungan) ke Allah. Makna lawatan, tegas Abuya, di sini adalah bahwa puasa merupakan penyebab mereka (orang yang berpuasa) bisa sampai kepada Allah. Lawatan ke Allah ditandai dengan meninggalkan seluruh kebiasaan yang selama ini dilakoni (makan, minum, mendatangi istri di siang hari) serta menahan diri dari rasa lapar dan dahaga.

Sembari mengutip Al Quran pula, Abuya mencoba menganalisa surah Az Zumar ayat 10: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Kata Al Maliki, orang-orang yang bersabarlah maksudnya adalah orang yang berpuasa sebab puasa adalah nama lain dari sabar. Di saat berpuasalah, orang-orang yang bersabar (dalam beribadah puasa) memperoleh ganjaran dan pahala yang tak terhitung banyaknya dari Dzat Yang Maha Pemberi, Allah swt.

Kedelapan, di saat puasa inilah Allah memberi keistemewaan dengan menjadikan segala aktifitas orang yang berpuasa sebagai ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Karenanya, orang yang berpuasa dan ia meninggalkan ucapan yang tidak berguna (diam) adalah ibadah serta tidurnya dengan tujuan agar kuat dalam melaksanakan ketaatan di jalan-Nya juga ibadah. Dalam satu hadits riwayat Ibnu Mundih dinyatakan, “Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya merupakan ibadah, dan doanya akan dikabulkan, serta perbuatannya akan dilipatgandakan (pahalanya).”

Kesembilan, di antara cara yang Allah kenakan dalam memuliakan orang yang berpuasa, bahwa Allah menjadikan orang yang memberi makan berbuka puasa pahalanya sama persis dengan orang yang berpuasa itu sendiri meski dengan sepotong roti atau seteguk air. Dalam satu riwayat Nabi bertutur seseorang yang memberi makan orang yang puasa dari hasil yang halal, akan dimintakan ampunan oleh malaikat pada malam-malam Ramadhan…… meski hanya seteguk air. (Hr. Abu Ya`la).

Kesepuluh, orang yang berbuka puasa dengan berjamaah demi melihat keagungan puasa, maka para malaikat akan bershalawat (memintakan ampunan) baginya.

Sumber Habib Ali Akbar bin Aqil


Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah Abad 21

Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani

Nama lengkap beliau adalah 
Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari assyadzili. Sehari-hari beliau dipanggil Abuya.

Abuya lahir di Makkah Almukarramah, pada tahun 1362 H / 1943 M. Ayah beliau bernama Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, seorang ulama terkemuka di Makkah Almukarramah, dan seorang mudarris (pengajar) di Masjid Alharam.

Awal masa pendidikan yang ditempuh oleh Abuya adalah berbentuk halaqah-halaqah ilmiyah yang diasuh oleh ayahnya, Assayyid Alwi Bib Abbas Almaliki yang bertempat di Masjid Alharam. Selain belajar kepada ayahnya sendiri, beliau juga belajar kepada beberapa para Ulama, di antara guru beliau adalah Syeikh Hasan Muhammad Almassyath, Asayyid Amin Kutbi, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Sa’id Yamani, dan sebagainya.

Abuya juga belajar di Madrasah Alfalah, Madrasah Shaulatiyyah, dan Madrasah Tahfidz Alquran yang berada di kota Makkah. Beliau menimba ilmu Hadits kepada beberapa ulama di India dan Pakistan. Di kedua negara tersebut, beliau berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari ilmu Hadits, di antaranya Bombai, Haidar Abad, Karachi, dan sebagainya. Beliau memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan rantas transmisi (isnad) dari Alhabib Ahmad Almasyhur Alhaddad di Jiddah, Syeikh Hasanain Makhluf dari Mesir, Syeikh Ghumari dari Maroko, Syaikh Diyauddin Qadiri di Madinah, Maulana Zakariyya Alkandahlawi, dan sebagainya.

Pada fase selanjutnya, beliau menempuh studi akademis di Universitas Alazhar Mesir. Beliau berhasil meraih gelar Magister dan Doktoral dari Fakultas Ushuluddin Universitas Alazhar yang kondang tersebut. Beliau juga pergi ke Maroko untuk belajar kepada ulama-ulama di negeri ujung barat benua Afrika itu.

Pada tahun 1390 H / 1970 M, beliau diberi tugas mengajar di Fakultas Syari’ah di kota Makkah (1390-1399 H). Beliau juga termasuk salah seorang staf pengajar program pasca sarjana Universitas King Abdul Aziz Makkah.

Sepeninggal sang ayah,tanggal 25 Safar 1391, Abuya ditunjuk menjadi pengajar di Masjid Alharam menggantikan sang ayah. Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan para ulama Makkah, di antaranya Syeikh Hasan Almassyath, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Muhammad Salim Rahmatullah, Assayyid Amin Kutbi, dan sebagainya. Sang ayah sendiri, Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, telah mengajar di majelis tersebut selama 50 tahun lamanya.

Di Masjid Alharam, setiap malam Selasa, Abuya mengajar tanpa ada liburnya, baik di musim dingin maupun musim panas. Majelis tersebut tidak pernah libur kecuali karena ada halangan syar’i saja.

Selain halaqah di Masjid Alharam, banyak ceramah agama yang telah beliau sampaikan, baik di radio maupun televisi, juga yang terekam dalam bentuk kaset dan CD. Beliau selalu berperan aktif dalam Pekan Budaya (Almawasim Astsaqafiyyah) yang digelar oleh Rabithah Alam Islami. Sebagaimana beliau juga aktif dalam seminar-seminar agama yang diselenggarakan di dalam maupun luar Saudi Arabia. Dalam momen MTQ tingkat internasional, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Juri pada kisaran tahun 1399, 1400, dan 1401 H. Beliau merupakan orang pertama yang mengetuai dewan tahkim MTQ tingkat internasional tersebut.

Abuya juga telah mengunjungi banyak negara Islam. Tercatat, beliau berperan aktif membantu di berbagai pesantren dan madrasah di Asia Timur dan Asia Tenggara. Bentuk bantuannya, termasuk segi peletakan metodologi (manhaj), pemberian bantuan dana, penataran guru, perekrutan murid pesantren atau madrasah tersebut untuk dididik di Makkah dengan beasiswa penuh dari beliau rahmatullah ‘alaihi.

Dalam dunia tulis menulis dan karya ilmiah, Abuya berhasil menulis puluhan kitab dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, antara lain Aqidah Islam, Ulumul Quran, Musthalah Hadits, Fiqh, dan Sirah Nabawiyyah. Hingga akhir hayat, beliau tetap istiqamah mengajar di majelis ta’lim yang dirintis di tempat kediamannya di Syari’ Almaliki Distrik Rushaifah Makkah, yang dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai kalangan anak muda hingga orang tua, selain santri beliau sendiri yang berdomisili di Rushaifah. Adapun para santri beliau baik yang berdomisili dikediaman beliau, maupun yang mukim di luar, mayoritas berasal dari luar negeri Saudu Arabiah, dan ada pula yang berasal dari masyarakat setempat. Banyak pula dari para muridnya itu, sekembalinya ke negara masing-masing, menjadi da’i, ustadz, dan ulama terkemuka.

Pada tanggal 2 Safar 1421 H / 6 Mei 2000, Universitas Alazhar Mesir, memberi Abuya gelar Profesor, berkat dedikasi beliau yang panjang dalam riset ilmiah dan karya tulis, yang memenuhi standar akademi. Selain itu, gelar honoris tersebut merupakan penghargaan atas jasa-jasa perjuangan beliau yang cukup lama, dalam dunia dakwah dan penyebaran ilmu syariat di banyak negara Islam.

Halaqah ilmiyah yang cukup dikenal oleh penduduk Makkah, yang semula bertempat di Masjid Alharam, dan pada akhirnya dipindah ke kediaman beliau, adalah halaqah yang merupakan tradisi ilmiah turun menurun selama 600 tahun lamanya yang senantiasa ditekuni oleh datuk-datuk beliau.

Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da’i di kota Makkah. Demikian juga dengan Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul; Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), sebuah kitab yang banyak meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi. Paham Wahabi sangat menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia Tenggara, di kediaman di jalan Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah.

Majelis ta’lim Abuya, dan juga ayah beliau, Sayyid Alwi Almaliki, tidak berkonsentrasi pada satu disiplin ilmu saja, atau hanya dikhususkan pada kalangan tertentu saja. Namun, teruntuk siapa saja. Karena itulah, Abuya berusaha mempersiapkan desain rumahnya untuk keperluan ini. Di rumahnya, dibangun ruangan (qa’ah) yang cukup luas, karena setiap hari dipergunakan untuk menampung jama’ah dalam halaqah ilmiyah yang diasuh beliau, tidak kurang dari 500 orang. Dalam setiap harinya, mulai ba’da Maghrib hingga ba’da Isya, Abuya menyampaikan pelajarannya, serta menyambut para tamu dan thalibul ilmi di tempat itu. Bahkan, majelis beliau selalu dihadiri oleh para ulama dan pejabat, baik dari Saudi Arabia sendiri maupun dari luar negeri, yang datang untuk melaksanakan ibadah haji atau ziarah. Praktis, majelis itu menjadi ajang ta’aruf dan shilaturrahim yang ‘diformat’ oleh Sayyid Muhammad secara simpel, sederhana, dengan didukung oleh sifat beliau yang begitu simpatik. Beliau selalu menanyakan kabar para jama’ah, mencari yang tidak hadir di antara muridnya, atau para jamaah yang istiqamah datang ke majelis tersebut.

Abuya dikenal sebagai figur yang sangat tawadlu, bijaksana, dan tidak ghuluw (fanatik secara berlebihan). Beliau selalu bersedia dan selalu siap bila diajak berdiskusi hin gga beddebat. Beliau bukan figur yang senang mencerca atau marah kepada orang yang berbeda pendapat dengannya. Namun sikap tegas dan wibawah sudah menjadi bagian dari karakter hidupnya. Maka tak heran, semasa hidupnya, beliau adalah otoritas yang paling dihormati oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Beliau senantiasa menghormati para ulama yang telah wafat mendahului beliau. Beliau selalu mengenang guru-gurunya, yang telah berjasa dalam membentuk karakter pribadi beliau, baik para guru beliau sendiri, maupun para sahabat ayah beliau.

Di antara faktor yang menjadikan beliau mudah diterima oleh masyarakat adalah kelembutan bicara dan akhlaqnya, terutama kepada orang yang membutuhkan bantuan kepada beliau..

Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, banyak sikap kelompok yang meng-counter pendapat ilmiah beliau. Namun dengan kebesaran hatinya, Abuya menerima semua itu dengan penuh kesabaran. Beliau menjawab semua counter tersebut dengan cara yang baik, dan menjelaskan duduk permasalahan dengan dalil-dalil syar’i. Abuya selalu mempunyai keyakinan, bahwa sejak ribuan tahun, tidak pernah tercatat dalam sejarah, adanya ulama yang berbeda pendapat dengan ulama lain, lantas menyerang dengan menggunakan cara-cara yang tidak gentel, yang tidak layak dilakukan oleh seorang alim. Sikap beliau ini, berhasil meluluhkan hati beberapa orang, yang pada asalnya berbeda pendapat dan ‘menyerang’ beliau. Pada akhirnya mereka makin mengetahui ketulusan hati dan tujuan beliau dalam dakwah dan menyebarkan ilmu yang bersumber dari Alquran dan Sunnah.

Pada tanggal 5-9 Dzul Qa’dah 1424 H, Abuya menjadi pemateri dalam seminar nasional untuk dialog pemikiran yang diselenggarakan di Makkah Al Mukarramah. Pertemuan yang baru pertama kali diselenggarakan oleh pemerintah Saudi tersebut bertajuk, “Fanatisme Berlebihan dan Proporsional – Pandangan Metodologi Umum”.

Setelah berjuang panjang dalam dunia dakwah dan keilmuan, pada Jumat pagi hari, tanggal 15 Ramadhan 1425 H, setelah terkena serangan penyakit yang mendadak, beliau berpulang ke rahmatullah. Meninggalkan beberapa putra (Assayyid Ahmad, Assayyid Abdullah, Assayyid Alwi, Assayyid Ali, Assayyid Hasan, Assayyid Husain) dan beberapa putri. Beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la Makkah Almukarramah.

Pemakaman beliau dihadiri para pentakziah dalam jumlah yang sangat besar. Jenazahnya dishalati di Masjid Alharam setelah shalat Isya pada hari itu. Di antara yang hadir adalah para ulama, murid-murid beliau, para pejabat Kerajaan Saudi Arabia dan negara-negara teluk lain, yang mempunyai ikatan kuat dengan beliau semasa hidupnya. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau, dan menjadikannya termasuk golongan orang-orang yang pertama masuk sorga untuk berziarah dan bermuwajahah kepada Allah, Dzat yang selalu dirindukannya, wujuuhun yauma idzin naadhirah, ilaa rabbihaa naadhirah

Abuya meninggal dunia dengan meninggalkan banyak pusaka yang sulit untuk dilupakan ummat Islam. Ribuan murid yang menyebar di berbagai negara, serta ratusan karya tulis dalam bentuk buku, monograf, makalah, dalam berbagai topik keislaman. Belum lagi kumpulan ceramah beliau yang terekam dalam kaset dan CD. Kitab-kitab maupun rekaman ceramah beliau, tidak bertujuan mencari keuntungan materi. Hal ini makin membuat beliau dicintai dan dihormati ummat. Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani akan terus berada dalam sanubari terdalam ummat Islam, karena wacana keilmiahannya masih terus dapat dinikmati generasi demi generasi, dan tak akan lekang oleh pergantian zaman. Di antara karya beliau yang paling terkenal adalah:

1. 
Abwab al Faraj (Kunci-Kunci Kebahagiaan), [Kairo: Dar al Ja’fari, tanpa tahun], sebuah manual yang mendeskripsikan tentang doa munajah, dan bacaan untuk berbagai situasi dari Alquran, Sunnah, dan para imam Islam. Disertai pula tentang adab / tata cara dalam berdoa. Buku ini juga berisi resep yang berharga untuk memperbanyak bacaan Surat Al Fatihah.
2. 
Al Anwar al Bahiyyah min Isra’ wal Mi’raj Khayr al Bariyyah (Cahaya-Cahaya Menakjubkan dari Perjalanan Malam dan Naiknya Sang Ciptaan Terbaik) [Edisi Kedua, Riyadh: tanpa penerbit, 1998]. Sebuah monograph yang mengumpulkan seluruh riwayat-riwayat sahih tentang Isra Mi’raj dalam suatu narasi tunggal.
3. 
Al Bayan wa at Ta’rif fi Dzikra al Maulid as Syarif (Penjelasan dan Devinisi Perayaan Maulid yang Mulia)[diterbitkan tahun 1995). Sebuah antologi singkat teks dan sya’ir yang terkait dengan maulid.
4. 
Haula Ihtifal bi Dzikra al Maulid an Nabi As Syarif (Berkaitan dengan Peringatan Hari Kelahiran Nabi SAW)[Cairo: Dar Jawami’ Al Kalim, 1998). Kumpulan detail bukti dan dalil yang diajukan ulama tentang kebolehan perayaan maulid.
5. 
Al Husun al Mani’ah (Benteng-Benteng Tak Terkalahkan). Sebuah buklet tentang ibadah harian yang dipilih dari Sunnah Nabi dan praktek ulama salaf.
6. 
Huwa Allah (Dia Adalah Allah). Sebuah statemen dan doktrin Sunni untuk menolak penyimpangan kaum antrhopomorphisme (mujassimah)
7. 
Khulasa Shawariq al Anwar min Ad’iya as Saadah al Akhyar (Ringkasan Cahaya-Cahaya yang Terbit dari Do’a-Doa Syuyukh Terpilih)
8. 
Al Madh an Nabawi Bayn al Ghuluw wal Insaf (Pujian pada Nabi SAW, antara Berlebihan dan Kepantasan)
9. 
Mafahim Yajibu an Tushahhah (Pemahaman-Pemahaman yang Perlu Diluruskan)
10. 
Al Musytasyriquun Bayn al Insaf wal ‘Asabiyyah (Orientalis antara Kejujuran dan Primordialisme)
11. 
Al Qawa’id al Asasiyyah fi ‘Ulumi al Quran (Kaidah-Kaidah Mendasar dalam Ilmu-Ilmu Alquran)
12. 
Al Qawa’id al Asasiyyah fi Ushul al Fiqh (Kaidah-Kaidah Mendasar dalam Ushul Fikih)
13. 
Al Qudwah al Hasanah fi Manhaj ad Da’wah ila Allah (Teladan Luhur dalam Metode Dakwah)
14. 
Mafhum at Tathawwur wa at Tajdiid fis Syari’ati al Islamiyyah (Hakikat Kemajuan dan Pembaharuan dalam Syariat Islam)
15. 
Manhaj as Salaf fi Fahmi an Nushush Bayn an Nadzariyyah wa at Tathbiiq (Metodologi Salaf dalam Memahami Teks; Teori dan Praktik)
16. 
Muhammad SAW al Insan al Kamil (Muhamamad SAW Manusia Sempurna)
17. 
Qul Haadzihii Sabili (Katakan: Inilah Jalanku)
18. 
Ar Risalah al Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha (Pesan Islam; Kesempurnaannya, Keabadiannya, dan Keuniversalannya)
19. 
Shifa’ al Fuad bi Ziyarah Khayr al ‘Ibad (Penyembuh Hati Berkenaan dengan Ziyarah Sebaik-Baik Manusia)
20. 
At Tali’ as Sa’id As Sa’id Al Muntakhab Min al Musalsalat wal Asaaniid (Bulan Baru Kebahagiaan: Pilihan atas Hadits-Hadits Musalsal dan Isnad-Isnad)
21. 
Tarikh al Hawadits wa al Ahwal an Nabawiyyah (Peristiwa-Peristiwa Bersejarah dan Penanda dalam Kehidupan Nabi SAW)
22. 
Al ‘Uqud al Lu’lu’iyyah bi al Asanid al ‘Alawiyyah (Kalung Mutiara: Isnad-Isnad ‘Alawi)
23. 
Wa Huwa bil Ufuqi al A’la (Dan Dia Di Cakrawala yang Paling Tinggi).